SEORANG pembaca Parodi mengirimkan pertanyaan lewat Facebook. Pertanyaannya begini. ”Saya cuma mau tanya, apakah Bapak pernah menulis tentang berdamai dengan diri sendiri? Apa sih, Pak, bedanya dengan memaafkan diri sendiri? Soalnya selama ini saya memerhatikan Bapak seringnya menulis tentang memaafkan orang lain.
Sejujurnya saya sendiri tak tahu apa arti memaafkan diri sendiri, apalagi berdamai dan terus ditanya perbedaannya. Kalau seringnya saya menulis tentang memaafkan orang lain, itu karena saya pernah melakoninya dan lumayan berhasil. Tetapi, apakah keberhasilan saya untuk bisa memaafkan orang lain itu karena saya sudah mampu memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan diri sendiri? Itu yang saya tak tahu.
Waktu itu saya hanya merasa sangat terganggu dengan tidak memaafkan. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak, benar-benar saya rasakan. Gara-gara itulah saya memaafkan sehingga makan jadi enak, tidur jadi nyenyak, tetapi bukan karena saya memaafkan dan berdamai dengan diri saya sendiri terlebih dahulu. Seingat saya sih seperti itu. Saya tak pernah berkata kepada diri saya sendiri, ”Damai yuk, Neng.” Atau ”Maap-maapin, ye.”
Bingung seperti biasa
Kalau saya pikir-pikir, untuk apa, ya memaafkan atau berdamai dengan diri sendiri? Lha wong diri sendiri yaa… pasti dimaafkan, bukan? Masak ada orang membenci dan tak mau berdamai dengan dirinya sendiri? Bukankah perkataan egois itu ada karena kecintaan terhadap diri sendiri secara berlebihan? Kalau saya iri, bahkan sangat iri, karena kalah ganteng dari Justin Timberlake dan tak sekaya Bill Gates atau Mister Buffett, itu seringkali terjadi, tetapi sampai membenci diri sendiri, rasanya belum pernah terjadi.
Bahkan kalau lihat wajah saya yang sebelas dua belas, artinya mirip-mirip dengan jalan yang berlubang gara-gara hujan atau kualitas aspalnya adalah aspal—asli tetapi palsu maksudnya—itu pun saya hanya tertawa saja. Paling pol, cuma geleng-geleng kepala.
Keadaan wajah itu sebuah cermin masa remaja yang penuh gejolak, salah satunya gara-gara membaca buku Nick Carter dan kemudian saluran pembuangannya salah, termasuk jatuh cinta kepada orang yang salah, saat yang salah juga.
Makanya, mau dioperasi supaya tak berlubang kok sayang, seperti menghapus album masa lalu, sebuah masa yang syukur- syukur bisa saya lakoni meski saya tak mau kembali lagi. Tetapi, kalau tak dibenahi, ketika melihat cermin, kok seram juga dan membuat orang selalu memberi jarak saat berciuman pipi dengan saya. Apakah mungkin manusia yang memutuskan gantung diri atau menghabiskan nyawanya sendiri dengan cara apa pun juga disebut seseorang yang tak bisa memaafkan dan berdamai dengan dirinya sendiri? Saya benar-benar tak tahu. Bingung seperti biasa.
Libur selama tiga hari, minggu lalu, saya terserang diare plus batuk yang membuat dada dan seluruh badan terasa sakit. Kalau sudah dalam keadaan seperti itu, obat mujarab adalah bukan obat, bukan istirahat, tetapi dicium dan dipeluk. Siapa yang mencium dan siapa yang mau memeluk, itu masalahnya. Karena tinggal sendiri, yaaa... terpaksa memeluk bantal. Saya tak pernah memeluk guling, pernah sekali waktu memeluk ”tetangga”.
Saat-saat seperti itu biasanya godaan seringkali muncul, seperti berkeinginan menghubungi si ”tetangga” itu lagi. Hanya mendengar suaranya saja, biasanya bisa menyembuhkan. Batin terutama. Karena kalau batin sembuh dan senang, fisiknya juga bisa terkena imbas. Mungkin itu sebabnya selalu saja ada kesenangan dalam perselingkuhan, selain mendapat hal-hal yang lainnya juga. Seperti pabrik mobil, misalnya. Kata teman saya, kalau hanya dapat barang bermerek sudah basi.
Kayaknya ”lho”
Kemudian saya teringat belasan tahun lalu saat saya mau tak mau menghadapi ayah tercinta untuk memberi tahu saya ini termasuk pria flamboyan yang tak akan menikah. Saya berkeinginan memberitahukan agar ia jangan sampai menjadi seperti pungguk merindukan bulan.
Sebelum itu, saya bertanya kepada teman-teman mengenai keinginan memberi tahu orangtua tentang keadaan itu. Tak satu pun dari mereka menyetujui, salah satunya memberi pernyataan yang membuat saya mengurungkan niat selama beberapa bulan.
”Mbok ndak usah diomongin. Dia pasti juga tahu. Lha wong semut, lalet, kecoak saja tahu kalau lo tu jalannya udah miring kayak Kopaja. Nanti kalau bapakmu mati gara-gara pengakuanmu, apa kamu enggak nyesel seumur hidupmu. Apa kamu akan bisa memaafkan dirimu kalau dia game over gara-gara omonganmu itu?”
Pendapatnya itu membuat saya tak bisa tidur. Apa benar orangtua tak sepatutnya tahu hal-hal semacam ini? Apakah mereka takut menerima kenyataan kalau anaknya memberi tahu jalannya miring dan mau mengalahkan Naomi Campbell? Apakah ia akan memaafkan dan berdamai dengan dirinya terlebih dahulu sebelum menghakimi anaknya? Mungkinkah ia harus berdamai terlebih dahulu agar tak hanya menyalahkan hasilnya, tetapi mengakui mutu ladangnya juga tak hebat-hebat amat?
Tak seperti seorang teman yang sebelas dua belas dengan saya, meski bedanya karena ia berbadan dan berotot besar yang sudah mirip Superman, Batman, dan semua yang man-man itu, meski bercita-cita mengalahkan Naomi dan kawan-kawannya melenggang di atas catwalk. Oleh karenannya, setiap kembali ke rumah orangtuanya, terpaksa berjalan segagah tentara yang mau maju ke medan perang. ”Ketahuan nyokap-bokap, matilah gue.”
Pernyataannya itu membuat saya berpikir, apakah selama tahun-tahun ini ayah dan ibu saya merasa bersalah anaknya jalannya miring mirip bus Kopaja? Apakah mungkin mereka sudah berdamai dan memaafkan diri mereka sendiri sehingga selama ini kami semua riang gembira dan saya tak perlu pulang ke rumah layaknya tentara yang mau ke medan perang? Meski berdasarkan pengalaman pribadi, yang paling ribut kalau saya menjadi diri sendiri justru mereka yang secara tak langsung menyebut dirinya ”wakil” Tuhan di Bumi.
Supaya tak ribut, sepertinya saya harus menyediakan waktu bercermin, dan memaafkan diri sendiri, kalau perlu. Setelah memaafkan, biasanya sih ada damai. Nah, kalau yang di dalam damai, yaa… yang di luar turut damai juga. Kayaknya, lho.
Samuel Mulia, Penulis mode dan gaya hidup (kompas.com)
0 komentar:
Posting Komentar