Gara-gara uanglah seorang anak dicaci maki oleh ayahnya. Sang anak bukan saya. Ini sebuah cerita benar terjadi. Si anak berprinsip uang bukan segalanya, sang ayah malah berprinsip uang itu adalah segala-galanya. Suatu hari sang anak kekurangan uang, ia meminta pertolongan kepada sang ayah. Maka perkataan inilah yang terdengar di telinga si anak. "Makanya percaya sama orangtua, Uang itu segalanya. Lihat… butuh uang juga kan elo."
Gara-gara perkataan itu, ia membenci ayahnya. Prinsipnya uang bukan segalanya itu tak berarti uang itu tak penting. Buktinya ia mengalami betapa pentingnya harus punya uang dan betapa sengsaranya tak punya uang, sampai harus mengemis dan mempertaruhkan segala prinsip dan mungkin harga diri. Prinsip yang berbeda itu membuat perselisihan bertahun lamanya.
Cerita itu membuat saya mengerti mengapa ada kasus ayah membunuh anak atau sebaliknya atau pegawai membunuh atasannya, kakak berkelahi dengan adik hanya gara-gara yang satu ini. Atau yang dahulu baik-baik kemudian menjadi tidak baik-baik. Yang dahulu rendah hati dan rendah diri, bisa menjadi tinggi hati dan tinggi diri. Itu juga mengapa ada perselingkuhan dan ketidaksetiaan dalam bentuk lain.
Bahagia dan tidak bingung
Saya dahulu berprinsip seperti cerita sang ayah gara-gara ayah saya yang kikir. Suatu hari saya harus punya uang banyak sekali sehingga saya bisa bebas tak bergantung pada siapa pun. Bahasa Inggrisnya—semoga kali ini saya tak keliru menulis—saya ingin memiliki financial freedom.
Dan keinginan itu makin menjadi-jadi kalau membaca majalah dan bergaul di dunia nyata. Melihat manusia muda belia sudah punya lukisan supermahal, memiliki rumah dua belas ribu meter persegi, dan disebut sebagai salah satu manusia terkaya di jagat raya ini. Itu mengapa saya setuju sekali dengan prinsip sang ayah, uang adalah segalanya.
Bagaimana tidak? Bayangkan kalau saya punya uang boanyak, saya bisa memerintahkan sebuah negeri untuk menurunkan atau menaikkan salah satu menterinya, bahkan presidennya, karena dengan uang boanyak itu, saya bisa mengatur hidup orang. Mengapa? Karena orang berutang pada saya, si kaya raya itu. Dan uang pengembaliannya dibayar separuh saja, sisa separuhnya untuk saya mendapat fasilitas menurunkan atau menaikkan manusia-manusia yang saya ingin turun atau naikkan.
Kalau saya dipenjara, misalnya, uang adalah segalanya. Tak usah percaya dengan saya, Anda pasti sudah membaca liputan sejuta media mengenai kehidupan di hotel prodeo belakangan ini, bukan? Kok dipenjara sepuluh tahun, seumur hidup saja tak jadi masalah. Lha wong bisa keluar-masuk hanya gara-gara uang dan mengatur bisnis dari dalam penjara dan bertambah kaya di dalam penjara.
Uanglah yang menyebabkan saya iri mengapa saya tidak dianggap oleh salah satu wong sugih di Nusantara ini, hanya karena saya berprofesi kuli tinta yang memang pendapatannya yaaa… gitu deh. Gitu deh sengsaranya, maksudnya. Kalau di dalam pesta, ia hanya menyalami tanpa banyak bacot tanpa menatap mata saya. Tapi berbeda halnya kalau menyalami teman saya yang memang kaya raya. Ia pasti menepuk bahu teman saya itu sambil berkata keras tanpa perlu toak. "Ini loh anaknya (dia menyebut silsilah keluarga teman saya itu)…. Wah…. muda-muda kaya raya… kalian mesti kenal orang ini... orang huebat."
Makin bahagia dan jadi bingung
Seorang pribadi kondang di negeri ini sudah menasihati saya dari sejak awal tak ada gunanya mencintai dunia kuli itu. "Ndang cepet nggolek gawean liyo. Ra bakal mundak sugih kowe." (Cepat-cepat cari pekerjaan lain. Tak bakal bertambah kaya kamu). Ia kemudian melanjutkan begini. ”Sebutannya saja sudah kuli. Bagaimana mau kaya raya. Ka-u-el-i. Kuli. Kalau ka-a-ye-a…. kaya. Bedo, no?”
Terus saya juga mendapat nasihat dari teman saya kalau uang itu bukan segalanya, seperti pendapat si anak tadi. Saya tak mengerti mengenai nasihat itu. Ia kemudian mengatakan, kebahagiaan itu tak hanya punya uang.
Saya makin tak mengerti karena saya membayangkan kalau saya punya uang, saya sangat bahagia. Waktu itu saya berpikir, apa, ya, mungkin saja istilah itu ada karena yang menciptakan pandangan itu memang enggak pernah kaya dan sudah dicoba beberapa kali, ya, tetap enggak kaya. Jadi mencari sudut pandang yang kelihatan mulia, tapi sesungguhnya tak benar-benar amat. Itu pikiran saya saja.
Karena setelah melihat orang yang tak punya uang sekalipun, perselingkuhan juga terjadi, pembunuhan dan kebahagiaan juga dialami, sama saja dengan orang yang superkaya. Jadi saya bingung sampai sekarang dengan kalimat uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ia pastinya bisa. Bisa beli tas bermerek, terus bahagia. Bisa beli koleksi lukisan termahal di dunia dan bahagia. Bisa membunuh pesaing, yaa… bahagia. Perkawinan yaa bisa bahagia.
Perselingkuhan dalam perkawinan? Lha wong sopir saya di kantor lama yang gajinya sebelas dua belas sama saya saja istrinya satu, selingkuhannya tiga. Satu sopir lagi malah menghamili anak pejabat dan mereka saling cinta dan si anak pejabat tak keberatan jadi istri kedua. Dengan memiliki banyak uang, saya bisa berbakti membantu korban gempa sampai membiayai pendidikan anak cacat dan yang waras sekalipun.
Saya pernah dinasihati lagi, katanya akar dari segala kejahatan itu adalah cinta uang. Saya tambah bingung lagi. Dengan IQ, SQ, EQ saya yang lumayan, lumayan datar maksudnya, maka cinta uang tak akan jadi masalah. Karena tanpa mencintai uang yang kita miliki, maka investasi tak akan pernah terjadi. Royal adalah bentuk tidak mencintai uang. Karena cintalah saya mengembangkan uang menjadi lebih banyak, dengan demikian saya bisa paling tidak membantu menyejahterakan orang lain.
Kalau kemudian manusianya yang mencintai uang itu jadi kemaruk, sombong, dan jadi anak buah setan, maka yang salah bukan cinta uangnya, otaknya saja yang enggak beres. Karena seperti cinta, uang itu punya sengat. Masalahnya mau disengat atau tidak? Ya... tak beda banyak dengan cinta. Mau dibuat buta, apa memilih yang menginjak bumi?
Cinta itu tak pernah buta, yang tak tahan menjadi buta itu manusianya. Saya jadi bingung sendiri nih. Awalnya saya berpikir artikel ini akan diakhiri dengan menyetujui pendapat si anak, kok sekarang saya malah pro bapaknya. Piye toh…. (kompas.com)
Samuel Mulia, Penulis Mode dan Gaya Hidup
0 komentar:
Posting Komentar